Depok

Pernahkah anda jalan-jalan ke Universitas Indonesia di Depok? Universitas ini tidak hanya besar dan luas, tapi juga sangat asri. Sebagian besar wilayahnya masih berupa hutan rimbun. Asri. Sejuk. Menenangkan. Jalur pejalan kaki dan jogging track dibuat di sekeliling kampus.

Tapi begitu kita keluar dari area kampus, kita akan disuguhi situasi yang sangat berbeda. Itulah kota Depok. Jalan-jalan semrawut. Minim pohon. Berdebu. Trotoar nyaris tak ada. Kalau pun ada, penuh lobang. Masuk ke jalan-jalan kampung, keadaan semakin parah. Ada jalan di samping kali. Sebagiannya longsor. Nyaris tak ada perbaikan. Depok adalah kota yang memprihatinkan.

Sudah tiga periode pemerintahan ditangani oleh kader-kader partai keadilan sejahtera. Sepanjang 15 tahun ini, nyaris tak ada perubahan. Hanya ada sedikit gebrakan. Itu pun untuk urusan makan pakai tangan kanan, selasa tidak makan nasi, pemutaran lagu di perempatan jalan dan wacana penegakan Depok sebagai kota relijius. Ada sedikit upaya mengecat pagar jalan di awal pemerintahan walikota saat ini. Selebihnya adalah macet.

Tahun ini, kota Depok akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah. Ini kesempatan emas bagi warga Depok melakukan koreksi atas jalannya pemerintahan yang nyaris tak terasa manfaatnya itu.

Tapi ternyata persoalan kota ini demikian akut. Alih-alih memunculkan calon alternatif bagi kekuatan lama, warga justru harus memilih di antara dua petahana: walikota dan wakil walikota. Hanya itu pilihannya. Nasib.

Dibutuhkan sebuah kekuatan gerakan sosial yang besar untuk mendobrak kebekuan politik di kota ini. Siapa yang akan memulai? Ayo!

Kalau ada waktu, silakan menyimak perbincangan santai dengan tim podcast HAMburger ini. Boleh juga disebar ke warga Depok jika berkenan. Salam perubahan!

Depok, 18 September 2020

Saidiman Ahmad

https://link.tospotify.com/KWlMzU6gS9

Harun Nasution dan Pembaruan Pemikiran Islam dari Universitas Indonesia

Salah satu pendobrak utama kekakuan pemikiran Islam di Indonesia adalah Prof. Dr. Harun Nasution. Beliau pernah menjabat sebagai rektor IAIN Jakarta. Para pemikir pembaruan Islam dari Ciputat dan IAIN umumnya adalah murid beliau, langsung maupun tidak langsung.

Yang menarik, kebanyakan buku yang ditulis oleh Pak Harun justru tidak diterbitkan oleh penerbit IAIN, tapi oleh UI Press. Dari 7 buku beliau yang saya punya ini, empat di antaranya diterbitkan UI Press. Tiga lainnya diterbitkan Bulan Bintang.

Saya lupa detil alasannya. Tapi bahwa UI Press bisa menerbitkan buku-buku Pak Harun yang berisi dobrakan pembaruan pemikiran Islam menunjukkan UI di masa itu masih cukup progressif. Tentu ini terjadi sebelum gerakan Tarbiyah PKS dan HTI mencengkram kampus itu sedemikian kuatnya.

Memang saya sempat baca, mungkin di buku ulang tahun Pak Harun yang diterbitkan LSAF, bahwa salah satu alasan kenapa buku-buku itu diterbitkan UI Press karena penerbit Ciputat belum bisa menerima sepenuhnya pemikiran Pak Harun.

Baru dengar dari Bang Ade Armando bahwa UI sekarang mulai berbenah kembali setelah bertahun-tahun dikacaukan oleh aktivis-aktivis Tarbiyah. Semoga upaya itu membuahkan hasil.

Kalau butuh referensi tentang Islam yang rasional dan maju, bisa tengok kembali gudang perpustakaan dan penerbitan UI. Barangkali di sana masih tersisa buku-buku Prof. Harun Nasution yang diterbitkan Universitas Indonesia sendiri.

Depok, 17 September 2020

Tentang Kebenaran


Kaum fundamentalis agama dan kelompok kiri itu memiliki persamaan. Sama-sama santun pada lawan debat. Apa yang menyebabkan mereka sangat santun begitu? Kemungkinan besar karena mereka merasa sudah menemukan yang benar.


Yang pertama merasa membawa pesan ilahi. Yang kedua merasa membawa kepentingan rakyat. Di pundaknya bertengger kebenaran. Tidak bisa diganggu-gugat. Semua yang tidak sepakat adalah penentang tuhan dan rakyat.


Makian dan umpatan barangkali justru terlalu ringan bagi mereka yang menentang kebenaran tuhan dan rakyat itu. Kalau perlu, mati pun mereka pantas.


Itu sebabnya saya suka orang liberal. Nyaris tidak pernah saya menemukan seorang liberal yang memaki lawan debatnya. Mengapa begitu? Liberalisme berpijak pada asumsi bahwa semua manusia memiliki kelemahan. Tidak ada di antara kita yang punya kebenaran absolut. Manusia ini dhaif, tempatnya salah dan lupa. Tak ada superman di antara kita. Superman is dead.


Orang-orang liberal akan mempertahankan pendapatnya dengan argumentasi. Tapi sekokoh apapun argumen itu, mereka tetap menyisakan ruang untuk salah. Ada ruang untuk koreksi. Karena itu, di lingkungan kelompok liberal, kesombongan kurang mendapat tempat.


Bahkan lebih jauh, penganut liberalisme juga percaya value pluralism. Masing-masing pandangan memiliki kebenaran sendiri-sendiri yang seringkali tidak bisa diperbandingkan. Kebenaran itu berserak. Ia tidak tunggal, melainkan banyak.


Jangankan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, atau antara satu individu dengan individu lainnya, bahkan keputusan-keputusan dari satu individu pun seringkali memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Ketika kita memutuskan sesuatu, seringkali itu bukan tentang memilih di antara yang benar dan salah, tapi memilih di antara yang benar. Bahkan di dalam diri kita seorang ini, kebenaran itu beragam.


Semoga kita terhindar dari perangai takabbur.

Rasisme atau Ketimpangan?

Penyiksaan yang berujung kematian George Floyd, 46, di kota Minneapolis menggerakkan massa di seluruh penjuru Amerika Serikat turun ke jalan. Kendati tiga orang polisi yang terlibat dalam pembunuhan itu telah dipecat, kemarahan warga tak kunjung surut. Diskriminasi rasial yang dianggap masih berlangsung di Amerika Serikat adalah alasan di balik demonstrasi besar ini.

Agak mengherankan, sebenarnya, jika rasisme masih ada di Amerika Serikat. Setelah Eropa porak-poranda dalam dua kali perang dunia, Amerika Serikat muncul sebagai poros peradaban dunia. Negara ini adalah pusat ide-ide kebebasan individu yang melampaui sekat-sekat ras, warna kulit, ukuran mata, apalagi sekadar agama. Mereka bahkan memilih seorang berkulit hitam dengan nama tengah “Hussein” sebagai kepala negara dua periode. Continue reading “Rasisme atau Ketimpangan?”

KOMPAS

Ada tiga kebahagiaan seorang penulis kolom. Pertama, ketika tulisan selesai dibuat. Kedua, ketika tulisan dimuat. Ketiga, ketika dapat honor. Sebenarnya ada kebahagiaan keempat, yaitu ketika tulisan dimuat oleh Kompas.

Tulisan saya dimuat pertama kali tahun 2001, di awal semester dua. Bahagianya tak terbayangkan. Saking bahagianya, honornya langsung kujemput sendiri ke kantor Kompas, Palmerah. Naik Koantas Bima P102 jurusan Ciputat – Tanah Abang. Honornya 350 ribu. Jika biasanya makan di Warsun, Kampung Utan, dengan menu ati atau telur dadar dengan nasi satu setengah berkuah banyak, kali ini berani masuk ke warung Padang Triarga samping kampus. Rasanya ingin nraktir semua orang waktu itu. Continue reading “KOMPAS”

Hagia Sophia

Hagia Sophia dibangun Emperor Justinian di abad keenam sebagai katedral Bizantium, Kekaisaran Roma bagian Timur. Abad keenam adalah masa kehidupan Nabi Muhammad. Katedral ini seusia agama Islam.

Tahun 1453, tanggal 29 Mei, Konstantinopel ditaklukkan pasukan Ottoman di bawah Sultan Mehmed II yang saat itu masih berusia 21 tahun. Tiga hari kemudian, pada sembahyang jumat pertama sang penakluk, gereja katedral itu, simbol kemegahan kekaisaran Romawi Timur, diubah menjadi mesjid. Peristiwa semacam ini sebetulnya biasa saja di masa ketika bangsa-bangsa masih saling memangsa dan menaklukkan. Dalam series Netflix “Ottoman: The Rise of Empires”, sang penakluk menyaksikan Hagia Sophia mengeluarkan asap sebelum hari penaklukan. Asap itu dipersepsi sebagai tanda kemenangam. Seolah-olah Hagia Sophia memanggil. Continue reading “Hagia Sophia”

Bukan Fundamentalisme yang Menguat

Dimuat geotimes.co.id, 24 Juni 2017.

Setelah Pilkada DKI Jakarta 2017, muncul perbincangan publik mengenai dugaan semakin menguatkan kelompok anti-demokrasi berbasis agama. Demokrasi dianggap berada di dalam ancaman menyusul semakin solidnya kelompok fundamentalis. Hasil Pilkada DKI Jakarta ditengarai sebagai kemenangan kelompok tersebut.

Kesimpulan ini muncul menyusul beberapa praktik intimidasi dalam proses pilkada, antara lain bertebarannya spanduk-spanduk tentang larangan memilih pemimpin berbeda agama, bahkan ancaman tidak menyalatkan jenazah pendukung calon lain agama. Kampanye dengan menggunakan rumah ibadah dalam acara-acara peribadatan rutin menambah besar kekhawatiran tersebut. Continue reading “Bukan Fundamentalisme yang Menguat”

Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan

Dimuat Kompas, 16 Maret 2017, h. 7.

Presiden Joko Widodo menyatakan, demokrasi di Indonesia saat ini sudah kebablasan. Pernyataan dalam pidato saat pengukuhan Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (22/2) itu menjadi perbincangan publik.

Demokrasi dianggap sudah sampai ke titik maksimal, bahkan melampauinya. Karena itu, yang terjadi adalah kondisi demokrasi yang tidak ideal atau bahkan kekacauan. Apakah kesimpulan ini memiliki dasar teoretis dan mencerminkan pendapat umum? Continue reading “Kebebasan dan Demokrasi Kebablasan”

Publik DKI Menilai Relokasi Mensejahterakan Warga Miskin

Salah satu isu yang dipakai para penantang Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah soal relokasi. Agus Yudhoyono menyatakan bahwa relokasi bukan satu-satunya solusi. Dalam sebuah kesempatan, dia bahkan menyebut bahwa ada banyak kota yang dibangun dengan sistem terapung.

Sementara Anies Baswedan berkali-kali menegaskan penolakannya pada relokasi. Dalam debat pertama, 13 Januari 2017, Anies menyebut soal komitmen untuk tidak melakukan relokasi warga seperti yang terjadi di era gubernur DKI Jakarta periode ini.

Yang menarik adalah bahwa meskipun dijadikan senjata oleh pihak penantang untuk menyerang petahana, isu relokasi di tengah masyarakat ternyata tidak negatif. Dalam survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis 25 Januari 2017, mayoritas warga DKI justru memandang program relokasi adalah bentuk upaya gubernur mensejahterakan warga miskin. 56 persen publik DKI menilai relokasi adalah upaya Gubernur mensejahterakan warga miskin. Angka ini naik 2 persen dari survei yang diselenggarakan sebulan sebelumnya. Continue reading “Publik DKI Menilai Relokasi Mensejahterakan Warga Miskin”

Ahok-Djarot di Jalur Kemenangan

Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Saiful Hidayat memantapkan diri sebagai kandidat yang paling potensial memenangi pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2017. Kesimpulan ini muncul dari hasil survei mutakhir Indikator Politik Indonesia yang dirilis hari ini, 25 Januari 2017.

Pada survei itu, pasangan Ahok-Djarot mengantongi suara 38,2 persen, jauh mengungguli dua pasangan penantang, Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Kedua pasangan penantang ini bersaing ketat di angka 23,6 persen untuk Agus dan 23,8 persen untuk Anies. Jarak dua pasangan ini terlalu kecil sehingga tidak bisa dijelaskan mana di antara mereka yang unggul dari yang lain secara statistik. Continue reading “Ahok-Djarot di Jalur Kemenangan”